Parjo merindukaan saat ia masih kuliah dulu. Masih menjadi mahasiswa dan penuh dengan idealisme, parjo yang penuh semangat dan sangat rebel sedikit rewel, parjo yang energik. Parjo rindu saat ia mengerjakan tugas dan kemudian teman-temannya berebutan ingin menconteknya. Padahal parjo sudah menyiapkan dua versi tugas, satu untuk disebarluaskan ke publik dan satu lagi untuk jaminan nilai terbaiknya. Parjo dengan segala akalnya. Parjo yang berpindah-pindah universitas dari satu tempat ke tempat lain, propinsi ke propinsi hingga negeri satu ke negeri lainnya.
”meskipun banyak negeri ku jalani dan terkenal ..... tanah air ku tidak kulupakan” penggalan lagu itu benar-benar meresap dalam darah parjo bahkan hingga sumsumnya.
Setiap kali parjo mendengarkannya, parjo haru dan kadang meneteskan airmatanya. Parjo memang bukan seorang nasionalis atau patriot bangsa, ia hanya seorang melankolis. Parjo rindu masa lalunya.
Parjo rindu saat ia berangkat ke sebuah pulau untuk penelitiannya. Di sana nun jauh, entah berapa mil laut yang telah ditempuhnya demi mencapai tempat itu. Ia hanya ingat di sana semuanya begitu indah, tanpa intervensi kecanggihan jaman.
Benar-benar tempat eksotik dengan berbagai keaslian alam yang belum terjamah. Sungguh tempat indah meskipun tanpa sinyal selular, tanpa KFC, tanpa mall, tanpa Toyota ataupun Yamaha, yang ada hanya nyanyian alam ditingkahi debur dan sayup desir angin yang berbisik. Berbisik memanggil parjo untuk terus kembali. Yang ada disana hanyalah papan selancar cordell dan beberapa xanadu yang turun temurun diwariskan para turis kepada anak-anak sekitar. Parjo ingat dia pernah membeli papan ini dan kemudian pecah saat dipakai di Mentawai. Maklum saja buatan lokal. Parjo mampu membelinya setelah mendapat ”uang proyek” dari sang dosen. Harga mahal,ternyata palsu pula. Memang sudah menjadi tabiat dan keahlian bangsa ini untuk membuat sesuatu yang palsu.
Sebuah romantisme peselancar amatir dengan nostalgia lamanya. parjo kini sudah tidak bisa lagi meraih hari-hari itu. Kini kehidupan parjo penuh dengan rutinitas dan kejenuhan. Parjo rindu masa lalu. Parjo ingin berlari dengan bebas mengejar debur dan pecah ditengah lautan. Parjo ingin mengenang teduh sunyi panggilan kedamaian pesisir, parjo ingin pulang. Parjo ingat lembut belai sang bunda saat pagi di pinggir Kuta saat parjo masih balita. Parjo rindu rumah, rindu dalam hati. Parjo ingin kembali tapi tidak hari ini. Mungkin nanti. Setelah hatinya menangis sedemikian rindunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar